Salah satu sifat yang lazim dimiliki manusia adalah tertawa. Entah itu merupakan qodrat manusia atau bukan itulah ketawa, yang tidak bisa dipisahkan dari manusia. Kecuali sikap rasul yang konon selama masa hidup beliau tidak pernah melakukannya kecuali hanya tersenyum dalam mengekspresikan kebahagiaannya.
Tertawa seseorang mempunyai banyak ekspresi yang berbeda-beda. Adakalanya seseorang tertawa dengan suara yang keras dan menggatalkan telinga. Ada yang hanya dengan suara lirih. Tertawa seperti itu biasanya dikategorikan dengan tertawanya seorang perempuan. Tertawa memang memiliki aneka ragam, layaknya keanekaragaman dalam masalah sosial, politik, maupun budaya. Demikian pula dengan perihal ‘tertawa’ ini. Masing-masing punya variasi sendiri-sendiri. Seperti halnya menangis, yang mempunyai dua arti kontradiktif. Dalam artian adakalanya yang bermakna “bahagia” dan ada pula berarti sebaliknya. Keadaan itu dapat dibedakan menurut konteks perjalanan yang dialami masing-masing pelakunya. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa tertawa –yang sangat bergantung pada konteks yang melatar belakanginya- mempunyai interpretasi yang bermacam-macam. Namun demikian, tertawa LAZIMYA adalah untuk menunjukan suatu perasaan bahagia dan menangis adalah refleksi dari gambaran perasaan sedih.
Di sini, penulis ingin menarik benang merah mengenai korelasi benar tidaknya teori yang menganalogikan sebuah 'negara' dengan kondisi 'makhluk hidup' di alam ini, teori tersebut menjelaskan beberapa kesamaan struktur, fungsi dan transisi atau evolusi yang dimiliki keduanya (negara dan organisme). Kalau memang itu benar adanya, sudah barang tentu keduanya memliki pula kesamaan sifat yang dialaminya. Seperti halnya manusia yang tidak lepas dengan ungkapan rasa sedih, murung, dan tertawa itu sendiri.
Teori itu banyak diterapkan oleh banyak ahli filsafat Yunani -penulis abad pertengahan- dan beberapa pemikir modern. Salah satunya adalah Plato yang mempunyai persepsi mengenai substansi sebuah negara, dimana dia tidak membedakan antara negara dengan individu. Dan masih banyak lagi filsof lain dengan anggapan yang sama. Dalam hal ini, penulis menilik teori Herbert Spencer asal Inggris dalam bukunya Principles of Sociology 1880 (Mazher ul Haque, Political Science: Theory and Practice, 1998) yang dengan detail menggambarkan teorinya dan dikenal dengan “Organic Theory”. Intinya adalah mengenai “the nature of the state”. Dalam teorinya, dia menggambarkan bahwa negara –dengan dinamika dan problematika yang dihadapi- mempunyai banyak kemiripan dengan makhluk hidup, yaitu :
1. Keduanya terdiri dari beberapa sel (composed of the cells).
Ketika makhluk hidup mempunyai sel, maka hal itu juga berlaku untuk sebuah negara yang berselkan manusia atau rakyat yang menghuninya. Persamaannya ialah, keduanya merupakan komponen penting yang tidak dapat terpisahkan demi kelangsungan hidupnya.
2. Kesamaan dalam berkembang (parallelism in growth and development).
Seperti halnya makhluk hidup, negara berkembang dan mengalami improvisasi dalam perjalanannya. Sehingga pada mulanya ketika makhluk hidup baru lahir, dia lahir dalam kondisi yang lemah dan belum mempunyai langkah yang produktif dan efisien. Adapun negara, dia pada mulanya juga mengalami kondisi yang serupa. Yakni, mengalami masa yang serba sulit (yang biasa disebut zaman primitif) sampai pada akhirnya mengalami kemajuan yang luar biasa dengan kurun waktu yang tidak begitu singkat. Itulah manusia, yang akhirnya mampu menemukan cara hidup yang lebih mapan dan nyaman.
3. Interdependensi pada setiap bagian (functional inter-dependence of the parts).
Jadi, negara tidak akan dapat survive mempertahankan kelangsungan hidupnya ketika salah satu dari bagian tubuhya tidak berfungsi secara optimal. Artinya adalah, pelaksana kebijakan negara (presiden beserta seluruh kabinetnya) yang ditangannya berputarnya roda pemerintahan tidak dapat bekerjasama satu dengan yang lain. Begitu juga mahluk hidup yang lain. Kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada masing-masing organ tubuhnya yang berfungsi dengan baik. Oleh karenanya, adalah gerakan kolektif dari seluruh kabinet yang sangat diperlukan, hal itu untuk menghindari kelesuan dan mandegnya roda pemerintahan.
4. Kesamaan struktur (structural parallelism).
Makhluk hidup yang mempunyai tiga proses paralel, meliputi: 1) Proses untuk kelangsungan hidup, yaitu mulut, perut, usus-usus dan seterusnya sampai akhirnya pada pencernaan. 2) Sistem distribusi. Yaitu jantung, syaraf, hati dan seterusnya yang mengatur sirkulasi darah ke seluruh tubuh, dan 3) Sistem regulasi, yaitu sistem pengaturan di seluruh tubuh yang di sini artinya adalah pembagian vitamin, karbohidrat, protein dan sebagainya, sesuai dengan kebutuhan setiap organ tubuh itu sendiri. Untuk suatu negara, dia mempunyai sustaining system pula, yaitu 1) Sistem produksi yang direalisasikan lewat pertanian dan perindustrian. 2) Sistem distribusi yang diaktualisasikan melalui transpostasi dan komunikasi, dan 3) Sistem regulasi, inilah yang dikategorikan sebagai sistem manajemen atau pemerintahan dalam suatu negara.
5. Tumbuh berkembang biak dan mati (the wear and tear and the renewal ).
Seperti halnya makhluk hidup, yang tumbuh dan lahir dari masa kecil atau masa lemahnya. Setelah itu beranjak dewasa dengan segenap kekuatannya sehingga mampu mencari apa saja untuk memenuhi dan melestarikan masa hidupnya. Dia juga tahu akan adanya generasi berikutnya sebagai pengganti hari tuanya. Keadaan seperti ini adalah sama persis dengan keadaan suatu negara, yang pada mulanya mengalami masa keterpurukan dan kemunduran. Tetapi, dengan berjalannya waktu, negara tersebut akan mengalami proliferasi dalam segala bidang atau yang biasa di sebut era transisi. Maksudnya ialah adanya perubahan demi perubahan untuk mengarah pada suatu kemajuan yang dapat diumpamakan seperti lahirnya bayi yang tumbuh besar, dan bayi itulah yang akhirnya mempunyai julukan sebagai generasi bangsa. Dan setelah itu, menurut tabiatnya, akan mengalami kemunduranan, kelemahan dan (mungkin) kepunahan, entah itu disebabkan oleh faktor internal, seperti makin bertambahnya umur, sakit, atau yang lagi heboh sekarang terjangkit virus SARS, maupun eksternal seperti korban pembunuhan, perampokan, pemerkosan dll. Untuk suatu negara, faktor internal bisa meliputi kerusakan yang muncul dalam negara itu sendiri, seperti kebejatan moral dan akhlaq suatu bangsa, pemimpin yang dzalim, dll. Sedangkan faktor eksternal, salah satunya seperti kebijakan luar negeri yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan politik suatu negara tertentu, atau yang kebetulan sekarang terjadi adalah invasi yang dilakukan dari pihak luar: agresi militer Amerika ke Irak, dll.
Konklusinya, negara diibaratkan seperti makhluk hidup. Ia membutuhkan minum dan istirahat dengan teratur plus cukup. Dalam konteks ini, negara adalah memperoleh supply sesuai dengan yang dibutuhkannya. Yaitu sirkulasi dana pada tempatnya, pembagian anggaran negara sesuai ketentuan-ketentuan yang di tetapkan. Co-eksistensi satu bagian dengan bagian yang lain adalah istilahnya. Jadi, dalam kinerjanya, dibutuhkan kerjasama kolektif yang efisien dan effektif dalam tiap-tiap jajaran. Dalam hal ini, penulis analogikan dengan sistem kabinet. Dengan demikian, negara hampir sama persis dengan keadaan tubuh manusia.
Terlepas benar tidaknya teori tersebut –untuk tidak mengatakan bahwa penulis seratus persen membenarkan teori tersebut- memang rasanya perumpamaan antara manusia dengan negara hampir mendekati kesamaan dan kemiripan dengan kondisi alam di jagad raya ini. Yakni, dari pra-Islam atau masa jahiliyah sampai pasca-kegemilangan Islam pada zaman Abbasyiah (baca: Khalifah Harun al-Rashid) dan bahkan sampai pada masa sekarang. Secara khusus, perjalanan Islam berkembang sesuai dengan berputarnya waktu, pasang maupun surut.
Mengenai teori tersebut diatas, terdetik di benak penulis bahwa dalam sekian teor penyamaan yang di lontarkan Herbert Spencer, rasanya ada satu kesamaan yang belum dijelaskan. Yaitu "similarities of habit and desire", kesamaan watak dan keinginan yang lazim dimiliki oleh setiap makluk hidup, hewan maupun manusia. Contohnya, ketika sesorang mengalami suatu halangan atau kendala dalam hidupnya sudah pasti responnya dia akan merasa sedih, resah, gundah dan bahkan (mungkin) akan menangis. Begitupun sebaliknya ketika dia mengalami suatu kesuksesan dan kepuasan dalam dirinya, pasti akan bahagia yang mungkin direfleksikan dengan muka yang berseri-seri, perasaan girang, ceria ataupun dengan tertawa. Dalam segi “keinginan”, sudah semestinya setiap makhluk hidup akan berusaha untuk merealisasikan kehendak dan kenginanya yang bermuara pada pemuasan diri atau dalam rangka memenuhi kebutuhan yang lebih nyaman dan berarti.
Amatlah sama dengan negara yang dalam konsepnya bertujuan untuk mencapai dan mengatur segala tuntutan hidup selaras dengan tabiat manusia (on the natural sense) meliputi keamanan, kelangsungan hidup yang tentram, kemakmuran, ketenangan, kegemahripah-loh-jinawihan, keadilan, kesamaan dan seterusnya. Jelasnya, semuanya itu adalah tujuan daripada mendirikan suatu negara. Demikian pula korelasinya dengan watak yang dimiliki oleh negara. Refleksi bahagia, sedih dan muramnya adalah tergantung pada kadar pencapaian maksud dan kehendak yang gariskan. Ketika negara tidak lagi sanggup mengatasi krisis yang menerpa bangsa (inability), ketika kebijakan suatu negara tidak sesuai dengan aspirasi rakyat, ketika keadilan tidak dapat ditegakan (injustice), ketika di mana-mana terjadi ketimpangan dan kecemburuan sosial (social division), ketika keamanan rakyat terganggu (instability), ketika dan ketika………. , maka refleksi yang tercermin pada raut muka negara itu adalah konsekwensi kesedihan yang tengah ia tanggung. Kesedihan itu terpancar dari misalnya, kemiskinan yang merajalela, ketidaktentraman dalam hidup bersama, hampanya rasa kegotong-royongan, saling melempar kesalahan, korupsi, kemunduran ekonomi, sosial-budaya, terjadinya hukum rimba (rule of jungle) dst. Disisi lain, dapatkah negara tersebut merampungkan segala agenda kenegaraannya, sudah terlihatkah pembangunan yang merata dan berarti untuk rakyatnya. Inilah yang lazim disebut ekspresi bahagia dari sebuah negara. Itulah sedikit gambaran mengenai watak dan keinginan suatu negara sekaligus sebagai sebuah refleksi yang ia punyai. Jadi, penambahan yang ingin penulis berikan adalah bahwa negara juga mempunyai "similarity of expression" ketika sedang dilanda rasa sedih dan bahagia.
Oleh karena itu, masing-masing kita sekarang dapat mengetahui dan menyadari bahwa bangsa Indonesia khususnya, dan seluruh umat islam didunia umumnya, telah atau sedang memperlihatkan raut muka yang sebenarnya. Kita pun sah-sah saja untuk mengukur atau memberikan penilaian, apakah raut muka bangsa kita tengah terlihat sakit, murung ataupun pucat? Sesuai dengan teori organic tadi, kitapun dapat menyimpulkan secara sekilas dalam tahap apakah kondisi negara kita sekarang ini (dan sekaligus masa yang akan datang). Dan apakah benar, kita merupakan bagian darinya yang merupakan komponen yang tak bisa terpisahkan dari negara. Semua itu terlihat dari seberapa peranan dan kontribusi masing-masing untuk negara itu sendiri. Wallahu a`lamu bisshawaaaab.
Tertawa seseorang mempunyai banyak ekspresi yang berbeda-beda. Adakalanya seseorang tertawa dengan suara yang keras dan menggatalkan telinga. Ada yang hanya dengan suara lirih. Tertawa seperti itu biasanya dikategorikan dengan tertawanya seorang perempuan. Tertawa memang memiliki aneka ragam, layaknya keanekaragaman dalam masalah sosial, politik, maupun budaya. Demikian pula dengan perihal ‘tertawa’ ini. Masing-masing punya variasi sendiri-sendiri. Seperti halnya menangis, yang mempunyai dua arti kontradiktif. Dalam artian adakalanya yang bermakna “bahagia” dan ada pula berarti sebaliknya. Keadaan itu dapat dibedakan menurut konteks perjalanan yang dialami masing-masing pelakunya. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa tertawa –yang sangat bergantung pada konteks yang melatar belakanginya- mempunyai interpretasi yang bermacam-macam. Namun demikian, tertawa LAZIMYA adalah untuk menunjukan suatu perasaan bahagia dan menangis adalah refleksi dari gambaran perasaan sedih.
Di sini, penulis ingin menarik benang merah mengenai korelasi benar tidaknya teori yang menganalogikan sebuah 'negara' dengan kondisi 'makhluk hidup' di alam ini, teori tersebut menjelaskan beberapa kesamaan struktur, fungsi dan transisi atau evolusi yang dimiliki keduanya (negara dan organisme). Kalau memang itu benar adanya, sudah barang tentu keduanya memliki pula kesamaan sifat yang dialaminya. Seperti halnya manusia yang tidak lepas dengan ungkapan rasa sedih, murung, dan tertawa itu sendiri.
Teori itu banyak diterapkan oleh banyak ahli filsafat Yunani -penulis abad pertengahan- dan beberapa pemikir modern. Salah satunya adalah Plato yang mempunyai persepsi mengenai substansi sebuah negara, dimana dia tidak membedakan antara negara dengan individu. Dan masih banyak lagi filsof lain dengan anggapan yang sama. Dalam hal ini, penulis menilik teori Herbert Spencer asal Inggris dalam bukunya Principles of Sociology 1880 (Mazher ul Haque, Political Science: Theory and Practice, 1998) yang dengan detail menggambarkan teorinya dan dikenal dengan “Organic Theory”. Intinya adalah mengenai “the nature of the state”. Dalam teorinya, dia menggambarkan bahwa negara –dengan dinamika dan problematika yang dihadapi- mempunyai banyak kemiripan dengan makhluk hidup, yaitu :
1. Keduanya terdiri dari beberapa sel (composed of the cells).
Ketika makhluk hidup mempunyai sel, maka hal itu juga berlaku untuk sebuah negara yang berselkan manusia atau rakyat yang menghuninya. Persamaannya ialah, keduanya merupakan komponen penting yang tidak dapat terpisahkan demi kelangsungan hidupnya.
2. Kesamaan dalam berkembang (parallelism in growth and development).
Seperti halnya makhluk hidup, negara berkembang dan mengalami improvisasi dalam perjalanannya. Sehingga pada mulanya ketika makhluk hidup baru lahir, dia lahir dalam kondisi yang lemah dan belum mempunyai langkah yang produktif dan efisien. Adapun negara, dia pada mulanya juga mengalami kondisi yang serupa. Yakni, mengalami masa yang serba sulit (yang biasa disebut zaman primitif) sampai pada akhirnya mengalami kemajuan yang luar biasa dengan kurun waktu yang tidak begitu singkat. Itulah manusia, yang akhirnya mampu menemukan cara hidup yang lebih mapan dan nyaman.
3. Interdependensi pada setiap bagian (functional inter-dependence of the parts).
Jadi, negara tidak akan dapat survive mempertahankan kelangsungan hidupnya ketika salah satu dari bagian tubuhya tidak berfungsi secara optimal. Artinya adalah, pelaksana kebijakan negara (presiden beserta seluruh kabinetnya) yang ditangannya berputarnya roda pemerintahan tidak dapat bekerjasama satu dengan yang lain. Begitu juga mahluk hidup yang lain. Kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada masing-masing organ tubuhnya yang berfungsi dengan baik. Oleh karenanya, adalah gerakan kolektif dari seluruh kabinet yang sangat diperlukan, hal itu untuk menghindari kelesuan dan mandegnya roda pemerintahan.
4. Kesamaan struktur (structural parallelism).
Makhluk hidup yang mempunyai tiga proses paralel, meliputi: 1) Proses untuk kelangsungan hidup, yaitu mulut, perut, usus-usus dan seterusnya sampai akhirnya pada pencernaan. 2) Sistem distribusi. Yaitu jantung, syaraf, hati dan seterusnya yang mengatur sirkulasi darah ke seluruh tubuh, dan 3) Sistem regulasi, yaitu sistem pengaturan di seluruh tubuh yang di sini artinya adalah pembagian vitamin, karbohidrat, protein dan sebagainya, sesuai dengan kebutuhan setiap organ tubuh itu sendiri. Untuk suatu negara, dia mempunyai sustaining system pula, yaitu 1) Sistem produksi yang direalisasikan lewat pertanian dan perindustrian. 2) Sistem distribusi yang diaktualisasikan melalui transpostasi dan komunikasi, dan 3) Sistem regulasi, inilah yang dikategorikan sebagai sistem manajemen atau pemerintahan dalam suatu negara.
5. Tumbuh berkembang biak dan mati (the wear and tear and the renewal ).
Seperti halnya makhluk hidup, yang tumbuh dan lahir dari masa kecil atau masa lemahnya. Setelah itu beranjak dewasa dengan segenap kekuatannya sehingga mampu mencari apa saja untuk memenuhi dan melestarikan masa hidupnya. Dia juga tahu akan adanya generasi berikutnya sebagai pengganti hari tuanya. Keadaan seperti ini adalah sama persis dengan keadaan suatu negara, yang pada mulanya mengalami masa keterpurukan dan kemunduran. Tetapi, dengan berjalannya waktu, negara tersebut akan mengalami proliferasi dalam segala bidang atau yang biasa di sebut era transisi. Maksudnya ialah adanya perubahan demi perubahan untuk mengarah pada suatu kemajuan yang dapat diumpamakan seperti lahirnya bayi yang tumbuh besar, dan bayi itulah yang akhirnya mempunyai julukan sebagai generasi bangsa. Dan setelah itu, menurut tabiatnya, akan mengalami kemunduranan, kelemahan dan (mungkin) kepunahan, entah itu disebabkan oleh faktor internal, seperti makin bertambahnya umur, sakit, atau yang lagi heboh sekarang terjangkit virus SARS, maupun eksternal seperti korban pembunuhan, perampokan, pemerkosan dll. Untuk suatu negara, faktor internal bisa meliputi kerusakan yang muncul dalam negara itu sendiri, seperti kebejatan moral dan akhlaq suatu bangsa, pemimpin yang dzalim, dll. Sedangkan faktor eksternal, salah satunya seperti kebijakan luar negeri yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan politik suatu negara tertentu, atau yang kebetulan sekarang terjadi adalah invasi yang dilakukan dari pihak luar: agresi militer Amerika ke Irak, dll.
Konklusinya, negara diibaratkan seperti makhluk hidup. Ia membutuhkan minum dan istirahat dengan teratur plus cukup. Dalam konteks ini, negara adalah memperoleh supply sesuai dengan yang dibutuhkannya. Yaitu sirkulasi dana pada tempatnya, pembagian anggaran negara sesuai ketentuan-ketentuan yang di tetapkan. Co-eksistensi satu bagian dengan bagian yang lain adalah istilahnya. Jadi, dalam kinerjanya, dibutuhkan kerjasama kolektif yang efisien dan effektif dalam tiap-tiap jajaran. Dalam hal ini, penulis analogikan dengan sistem kabinet. Dengan demikian, negara hampir sama persis dengan keadaan tubuh manusia.
Terlepas benar tidaknya teori tersebut –untuk tidak mengatakan bahwa penulis seratus persen membenarkan teori tersebut- memang rasanya perumpamaan antara manusia dengan negara hampir mendekati kesamaan dan kemiripan dengan kondisi alam di jagad raya ini. Yakni, dari pra-Islam atau masa jahiliyah sampai pasca-kegemilangan Islam pada zaman Abbasyiah (baca: Khalifah Harun al-Rashid) dan bahkan sampai pada masa sekarang. Secara khusus, perjalanan Islam berkembang sesuai dengan berputarnya waktu, pasang maupun surut.
Mengenai teori tersebut diatas, terdetik di benak penulis bahwa dalam sekian teor penyamaan yang di lontarkan Herbert Spencer, rasanya ada satu kesamaan yang belum dijelaskan. Yaitu "similarities of habit and desire", kesamaan watak dan keinginan yang lazim dimiliki oleh setiap makluk hidup, hewan maupun manusia. Contohnya, ketika sesorang mengalami suatu halangan atau kendala dalam hidupnya sudah pasti responnya dia akan merasa sedih, resah, gundah dan bahkan (mungkin) akan menangis. Begitupun sebaliknya ketika dia mengalami suatu kesuksesan dan kepuasan dalam dirinya, pasti akan bahagia yang mungkin direfleksikan dengan muka yang berseri-seri, perasaan girang, ceria ataupun dengan tertawa. Dalam segi “keinginan”, sudah semestinya setiap makhluk hidup akan berusaha untuk merealisasikan kehendak dan kenginanya yang bermuara pada pemuasan diri atau dalam rangka memenuhi kebutuhan yang lebih nyaman dan berarti.
Amatlah sama dengan negara yang dalam konsepnya bertujuan untuk mencapai dan mengatur segala tuntutan hidup selaras dengan tabiat manusia (on the natural sense) meliputi keamanan, kelangsungan hidup yang tentram, kemakmuran, ketenangan, kegemahripah-loh-jinawihan, keadilan, kesamaan dan seterusnya. Jelasnya, semuanya itu adalah tujuan daripada mendirikan suatu negara. Demikian pula korelasinya dengan watak yang dimiliki oleh negara. Refleksi bahagia, sedih dan muramnya adalah tergantung pada kadar pencapaian maksud dan kehendak yang gariskan. Ketika negara tidak lagi sanggup mengatasi krisis yang menerpa bangsa (inability), ketika kebijakan suatu negara tidak sesuai dengan aspirasi rakyat, ketika keadilan tidak dapat ditegakan (injustice), ketika di mana-mana terjadi ketimpangan dan kecemburuan sosial (social division), ketika keamanan rakyat terganggu (instability), ketika dan ketika………. , maka refleksi yang tercermin pada raut muka negara itu adalah konsekwensi kesedihan yang tengah ia tanggung. Kesedihan itu terpancar dari misalnya, kemiskinan yang merajalela, ketidaktentraman dalam hidup bersama, hampanya rasa kegotong-royongan, saling melempar kesalahan, korupsi, kemunduran ekonomi, sosial-budaya, terjadinya hukum rimba (rule of jungle) dst. Disisi lain, dapatkah negara tersebut merampungkan segala agenda kenegaraannya, sudah terlihatkah pembangunan yang merata dan berarti untuk rakyatnya. Inilah yang lazim disebut ekspresi bahagia dari sebuah negara. Itulah sedikit gambaran mengenai watak dan keinginan suatu negara sekaligus sebagai sebuah refleksi yang ia punyai. Jadi, penambahan yang ingin penulis berikan adalah bahwa negara juga mempunyai "similarity of expression" ketika sedang dilanda rasa sedih dan bahagia.
Oleh karena itu, masing-masing kita sekarang dapat mengetahui dan menyadari bahwa bangsa Indonesia khususnya, dan seluruh umat islam didunia umumnya, telah atau sedang memperlihatkan raut muka yang sebenarnya. Kita pun sah-sah saja untuk mengukur atau memberikan penilaian, apakah raut muka bangsa kita tengah terlihat sakit, murung ataupun pucat? Sesuai dengan teori organic tadi, kitapun dapat menyimpulkan secara sekilas dalam tahap apakah kondisi negara kita sekarang ini (dan sekaligus masa yang akan datang). Dan apakah benar, kita merupakan bagian darinya yang merupakan komponen yang tak bisa terpisahkan dari negara. Semua itu terlihat dari seberapa peranan dan kontribusi masing-masing untuk negara itu sendiri. Wallahu a`lamu bisshawaaaab.