Tak akan hilang dalam ingatan kita, peristiwa suram 26 Desember 2004 di NAD yang disebut dengan badai Tsunami. Bencana alam yang telah menelan korban jiwa ratusan ribu manusia. Pantaslah apabila pemerintah RI menyatakan tiga hari sebagai hari berkabung nasional.
Bukan hanya Indonesia yang mungkin menangis, sejumlah negara Asia Tenggara dan Selatan yang lain pun ikut berbagi duka atas bencana itu. Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka adalah negara yang, mungkin, dapat turut merasakan sama pedihnya dengan bangsa Indonesia, khususnya rakyat NAD sendiri.
Peristiwa gempa Tsunami NAD, mau tidak mau, merupakan persoalan yang menuntut perhatian pemerintah. Karena, oleh pemerintah Indonesia, NAD masih tetap diakui sebagai salah satu bagian dari wilayah kesatuan RI. Pengerahan TNI dalam menangani korban-korban yang terkena musibah, serta penyediaan logistik bantuan dan barak penampungan bagi mereka yang kehilangan tempat tinggal setidaknya telah diperlihatkan oleh pemeritah kita sekarang – tanpa menafikan sukarelawan non-pemerintah yang lain.
Badai Tsunami yang sangat memilukan hati bangsa ini, nampaknya belum cukup memberikan isyarat tanda berakhirnya penderitaan yang dialami rakyat. Bencana banjir yang melanda di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di Jakarta, Sulawesi dan longsor di Jawa Barat, pun menambah sesaknya nafas penduduk dalam negeri. Bukan hanya itu, merebaknya penyakit Kusta, Demam Berdarah, Malaria (baca: musibah dalam negeri) dan tidak terhitung lagi musibah alam yang tampak tidak lagi pandang bulu, orang Islam atau bukan, kaya atau miskin, baik atau lalim. Bahkan, mungkin dapat dikatakan petaka yang ada di negeri ini tidak lagi menghargai sisi kemanusiaan lagi.
Murungnya bangsa ini tidak hanya berhenti di sini, kasus TKI ilegal di Malaysia yang nasibnya terkatung-katung menuntut gaji yang tidak pasti (baca: TKI), serta jalan diplomatik yang ditempuh oleh pemerintah RI guna mendesak pemerintah Malaysia dalam pembayaran gaji, juga hanya memberi harapan yang jauh dari kenyataan. Sudah maklum tentunya bahwa posisi TKI kita yang berstatus ilegal tetap akan kalah dari sisi hukum. Sehingga langkah yang mampu dilakukan oleh pemerintah RI hanya sebatas mendesak dan mendesak. Di sisi lain, pemerintah rasanya paham betul bahwa bargaining power untuk TKI kita pun belum – untuk menegasikan tidak sama sekali - bisa diandalkan. Karena kualitas tenaga kerja kita memang, siapapun tahu, kurang dapat bersaing. Tidak hanya di Malaysia, di beberapa negara lain seperti Arab Saudi dan sebagainya, nasib dan perlakuan terhadap TKI kita pun tidak jauh berbeda.
Setidaknya, itulah kenyataan pahit yang harus diakui bangsa ini. Saking tak terhitungnya, untuk menggambarkan kondisi bangsa ini secara lebih rinci, tentu tidak cukup hanya selembar atau setumpuk kertas yang dapat dibaca dalam beberapa jam atau hari. Itulah Indonesia yang konon bangga dengan Jamrud Khatulistiwanya.
Kritik Terhadap Perspektif Teologis
Cukup mendasar tampaknya apabila, dalam menilai dan menyikapi gempa Tsunami di NAD itu, ada sebagian kalangan mengkajinya dengan pendekatan teologis, seperti misalnya sosok kyai sekaligus budayawan kondang KH Mustofa Bisri (lihat, Ahmad Sabban Rajagukguk, ‘Gelombang Tsunami Dalam Perspektif Teologis’, Waspada Online). Yakni, terjadinya gempa tersebut tak lepas dari campur tangan manusia yang tidak lagi mengindahkan norma-norma yang digariskan Sang Pencipta. Sehingga dapat dimengerti bahwa kejadian alam tersebut merupakan akibat dari kemurkaan Tuhan atas hambanya yang lalai.
Namun, ketika tidak sedikit pengamat - tentang Tsunami di NAD - mencermatinya dengan perspektif teologis, ada satu hal yang mengganjal di benak penulis, yaitu tentang pendekatan teolog itu sendiri. Perlu diingat bahwa dalam menyikapi segala keadaan pasti sesuai dengan teori hukum kausalitas. Tak terkecuali pendekatan yang ada dalam entitas teologi. Tatkala teolog berbicara bahwa bencana itu adalah kemurkaan Tuhan, tentu kemurkaan itu ada sebabnya. Tatkala teolog berartikulasi bahwa siksa itu adalah kemarahan Tuhan, tentu kemarahan itu adalah akibat dosa yang telah ia perbuat. Sama seperti ketika teolog bermain kata bahwa kemalangan seseorang adalah sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya salah, dst.
Melihat konteks di atas, dengan mengkorelasikan antara bencana Tsunami di NAD dan penduduknya, tentu terbayang di benak kita bahwa penduduk Aceh adalah yang (memang) pantas menanggung bencana tersebut sesuai dengan akibat yang ditimbulkan. Secara implisit, dengan dasar ini, dapat dipahami bahwa penduduk acehlah yang melakukan kesalahan atau dosa dalam bahasa teologisnya.
Pemahaman seperti ini tentu patut disayangkan. Suatu pemahaman yang hanya menggiring pada justifikasi kelompok – atau daerah lain untuk lebih luasnya – yang tidak terkena musibah atas yang lain. Pada akhirnya, muncul vonis teologis terhadap penduduk Aceh bahwa merekalah (sepatutnya) penanggung malapetaka itu sebagai akibat dosa atau kesalahan yang telah diperbuatnya.
Sejatinya, sah-sah saja menilai keadaan tersebut dengan pendekatan teologis. Namun, ketika pendekatan itu dilakukan ‘hanya’ karena merespons fenomena kelam yang terjadi di Aceh, penilaian itu tampak kurang seimbang plus tidak adil. Tidak seimbang karena apabila ditilik dalam konteks nasional (negara), sebetulnya musibah yang melanda negeri ini tidak hanya di Aceh semata. Sudah sedari dulu bangsa ini dirundung bencana. Baik ekonomi, sosial, alam bahkan kemanusian. Penilaian yang tidak seimbang inilah yang dihawatirkan akan memberi kenyamanan dan ketenangan batin bagi yang tidak terkena bencana.
Selanjutnya, anggapan itu juga tidak adil karena, kalaupun bencana itu adalah wujud kemurkaan Yang Maha Perkasa, tentu sangat naif apabila Tuhan hanya melakukannya kepada rakyat Aceh semata (yang belum tentu berdosa). Sekali lagi tidak adil jika Tuhan hanya menurunkan siksa itu kepada penduduk Aceh yang notabene mayoritas Muslim dan membiarkan yang lain selamat padahal (mungkin sekali) mereka itu lebih banyak melakukan perbuatan tercela seperti melakukan tindakan korupsi, nepotisme, pengkebirian hak, berfoya-foya dengan uang rakyat dst.
Retorika teologis semacam ini juga akan berpihak pada satu kelompok yang tidak tertimpa musibah sekaligus memberi apologi untuk bersikap –meminjam istilah Hamid Basya’ib - blaming the victims. Sungguh betapa malang nasib mereka (rakyat Aceh), sudah jatuh ketiban tangga lagi.
Yang pantas dilakukan adalah: meskipun dengan pendekatan teologis, alangkah baiknya jika melihatnya secara lebih luas dan tidak hanya menyempitkan mata di Aceh saja. Memang, musibah Tsunami adalah musibah yang tidak kecil. Namun, bencana, musibah, malapetaka dan apapun nama dan bentuknya pada hakikatnya sudah lama menyelimuti negeri ini. Sehingga pantas jika semua sama-sama merasakan. Di sisi lain, Tidak etis kiranya bangsa ini menulikan telinga dengan musibah-musibah lain dalam negeri. Jika itu dapat dilakukan, harapan untuk perduli tidak hanya dengan penduduk Aceh yang kebetulan terkena musibah tapi juga penduduk dalam negeri yang lain – secara umum – tentu tidak menjadi kemustahilan.
Harapan terakhir, khusus untuk pemikir yang mendasarkan pikirannya pada perspektif teologis, agar melakukan pendekatan teologis tidak hanya ketika Tsunami terjadi di NAD, tapi, lebih relevan lagi jika segala musibah dalam negeri pun dapat dicermati dari sudut pandang teologi. Hal itu supaya dapat lebih mengingatkan plus menyadarkan bahwa kondisi bangsa ini, di manapun tempatnya, memang cukup memprihatinkan dan butuh perhatian.
Pendekatan teologis – tentang musibah - memang perlu dilakukan supaya bisa menyadarkan jiwa manusia akan kesalahan dan kesilapan yang (mungkin) dilakukan. Tetapi, pendekatan tersebut juga tak seyogyanya digunakan ketika hanya pihak lain yang terkena musibah. Instropeksi diri secara menyeluruh itulah yang diinginkan.
Dengan demikian, paham teologis yang hanya memihak sebagian hendaknya tidak perlu dilakukan. Bangsa ini harus sadar, tidak hanya kondisi Aceh yang memilukan, tapi, keadaan negeri ini, mesti diakui, hampir seluruhnya memprihatinkan. Harapan yang pantas untuk pemerintah sekarang adalah agar lebih perduli dan turut merasakan dari jiwa yang paling dalam dengan memberi cukup perhatian. Amien. Wallahu a`lam.
Wednesday, February 23, 2005
Subscribe to:
Posts (Atom)